JAKARTA, KOMPAS.com - Akhir bulan lalu, publik kembali dikejutkan dengan tertangkapnya seorang pengacara dari kantor pengacara terkenal. Adalah Mario C Bernardo, pengacara dari kantor hukum Hotma Sitompul & Associates yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menyuap pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman.
Kedua orang tersebut telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. Mario dijerat pasal penyuapan terhadap penyelenggaraan negara, sedangkan Djodi dijerat dengan pasal penerimaan suap. Keduanya diduga melakukan praktik suap menyuap dengan barang bukti uang sebesar Rp77 juta dan Rp 50 juta.
Penangkapan Mario ini menambah panjang daftar pengacara yang terlibat kasus korupsi sekaligus menggenapkan anggapan publik terhadap profesi advokat selama ini.
Berdasarkan rilis Indonesia Corruption Watch (ICW), sebelumnya sudah ada enam nama advokat lain yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama, Tengku Syarifuddin Popon, Harini Wijoso, dan Adner Sirait.
ICW juga memasukkan nama Ramlan Comel, advokat yang kini menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ramlan divonis dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, pada 2005 dalam kasus dugaan korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako sekitar Rp 1,8 miliar. Namun Ramlan kemudian dibebaskan di Pengadilan Tinggi Riau pada 2005 dan Mahkamah Agung pada 2006.
Deretan daftar panjang advokat yang terlibat kasus korupsi ini sangat disayangkan. Sekretaris Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (DK Peradi) Sugeng Teguh Santosa menilai, selama ini pengacara terjebak pada sistem peradilan yang memang korup.
"Padahal kode etik advokat mengatakan, seorang advokat dalam menangani perkara tidak semata-mata yang menjadi tujuannya adalah bayaran, tetapi juga menegakkan hukum dan keadilan," kata Sugeng saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/8/2013).
Lantas, apa yang membuat para advokat terjerumus ke pusaran korupsi?
Motif ingin menangMenurut Sugeng, salah satu faktor yang menjerumuskan para advokat ke lingkaran hitam adalah keinginan mereka untuk memenangkan suatu kasus. Para advokat, menurutnya, terjebak pada pemikiran antara menang dan kalahnya dalam menangani suatu perkara. Padahal, kata Sugeng, tugas pengacara bukan semata-mata memenangkan kliennya melainkan juga menegakkan keadilan.
"Ini adalah fenomena penegakan hukum yang arahnya kepada menang dan kalah, memperjuangkan menang dan kalah," katanya.
Penilaian senada disampaikan advokat Taufik Basari. Dia menilai, para advokat cenderung belum mampu membangun dirinya menjadi penyandang profesi yang bermartabat dan mulia.
Terjadi konflik antar organisasi advokat sehingga pengawasan tidak berjalan dengan baik. Pun individu advokat yang masih berpikir persoalan menang dan kalah sehingga cenderung menghalalkan segala cara untuk memenangkan kliennya.
"Bukan memikirkan persoalan menegakkan keadilan, sehingga apapun caranya, harus menang. Padahal semestinya mampu membuat kesadaran bahwa dengan profesi yang mulia ini, yang dicari adalah penegakkan kebenaran sehingga tidak menghalalkan segala cara, manipulasi fakta, atau melakukan hal di luar prosedur," tutur Taufik.
Tak higienis
Kondisi yang demikian, menurut Taufik, diperparah dengan sistem peradilan Indonesia yang masih membuka peluang praktek mafia hukum. Taufik memakai istilah sistem peradilan yang tidak higienis.
"Kita ibaratkan sistem peradilan kita tidak higienis, mudah tumbuh jamur, bakteri. Karena prosesnya tidak bersih maka banyak pihak yang mencoba memanfaatkan situasi ini, termasuk advokat," ujarnya.
Dia juga menilai, praktek mafia hukum bukan hanya melibatkan advokat, namun juga aktor lainnya, mulai dari polisi, hakim, jaksa, dan staf pengadilan.
"Karena memang lahannya, artinya proses peradilannya sendiri, sistemmnya masih membuka peluang praktik mafia hukum, tidak transparan, dan akuntabel," katanya.
Senada dengan Taufik, Sugeng mengungkapkan bahwa advokat ikut terlibat kasus korupsi karena kondisi peradilan yang memang korup.
"Yang paling bertanggung jawab sebetulnya pengadilan. Kalau sampai di pengadilannya itu benar, maka setiap penegak hukum akan disadarkan bahwa putusan pengadilan itu tidak bisa dibeli," ujarnya.
Pendidikan etika profesiUntuk perbaikan ke depannya, menurut Taufik, diperlukan pendidikan tinggi hukum yang menekankan bahwa menjadi sarjana hukum itu bertugas mengemban suatu amahan agar mendedikasikan ilmunya untuk penegakkan hukum, dan bukan untuk mengejar kepentingan pribadi semata.
"Maka lulusannya harus disadarkan untuk penegakkan hukum dari diri kita sendiri, taat prosedur, menekankan integritas dalam proses hukum," ucapnya.
Selain itu, kata Taufik, pendidikan tinggi hukum perlu menekankan pentingnya penerapan etika profesi. Taufik juga menilai pentingnya peran serta masyarakat dalam mendorong perbaikan dalam profesi advokat. Masyarakat diminta tidak memberikan kepercayaan kepada advokat yang memang sudah dikenal kerap berpraktek kotor.
"Butuh peran serta masyarakat untuk memberikan apriesiasi kepada advokat yang menjaga integritasnya, dan sebaliknya jangan berikan kepercayaan kepada advokat yang praktek kotor. Kalau advokat kotor ini tidak dapat ruang, tentu ruang gerak mereka akan semakin sempit sehingga yang berintegritas semakin punya ruang," tutur Taufik.
Editor : Caroline Damanik